Senin, 18 Februari 2019

Sebut Jokowi Sebar Kebohongan, Ini Rumitnya Eksekusi Rp 18 T


PT Kontak Perkasa - Koordinator jubir Prabowo-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, menilai Jokowi menebar kebohongan karena denda Rp 18 triliun belum dieksekusi. Padahal, eksekusi perdata merupakan kewenangan pengadilan/yudikatif. Bagaimana sebenarnya eksekusi perdata?

Kasus bermula saat LSM Greenpeace Indonesia membuat cuit tentang debat kedua. Yaitu:

@jokowi sebut telah memenangkan gugatan perdata terhadap 11 perusahaan yang harus membayar ganti rugi akibat kerusakan lingkungan kebakaran total lebih 18 T. Namun, belum ada perusahaan yang membayar ganti rugi pada negara sepeser pun.

Atas cuitan itu, Dahnil merespons sebagai berikut:

Kasihan Pak Jokowi dibohongi terus oleh pembantunya. Akhirnya beliau dengan ringan terus menyebarkan kebohongan.

Selidik punya selidik, kewenangan eksekusi perdata ada di lembaga pengadilan/yudikatif dan bukan di tangan eksekutif. Sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Senin (18/2/2019), begini rumitnya proses eksekusi perdata:

1. Putusan sudah berkekuatan hukum tetap (kasasi).
2. Penggugat mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri (PN).
3. Permohonan eksekusi melalui kepaniteraan prdata dengan membayar panjar eksekusi.
3. Biaya eksekusi dibayar pemohon dengan besaran melihat situasi dan objek.
4. Pemohon menyetor bukti penyetoran eksekusi ke kepaniteraan.
5. Panitera PN mengecek identitas pemohon eksekusi.
6. Ketua PN menunjuk juru sita atau juru sita pengganti untuk memanggil tergugat.
7. Ketua PN melakukan pemanggilan eksekusi maksimal 2 kali panggilan. Dalam pemanggilan ini, ditawarkan eksekusi sukarela secara kekeluargaan.
8. Ketua PN memberikan tenggat waktu 8 hari ke pihak yang kalah untuk melakukan eksekusi sukarela (Pasal 196 HIR/207 Rbg).
9. Setelah lewat 8 hari pihak yang kalah tidak melaksanakan, maka Ketua PN menetapkan eksekusi paksa.
10. Ketua PN kembali mengirimkan surat dengan jenis eksekusi paksa (aanmaning), maksimal 2 kali.

11. Bila yang kalah tidak mau melaksanakan, maka Ketua PN mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Eksekusi.
12. Panitera mengecek apakah sudah ada sita barang atau belum. Apabila belum, maka panitera menetapkan sita eksekusi.
13. Ketua PN mengeluarkan 'Penetapan Perintah Penjualan Lelang' terhadap barang milik yang kalah.
14. Pelelangan melalui Kantor Pelayanan dan Lelang Negara.
15. Delapan hari sebelum lelang, harus diumumkan ke publik. Pengumuman dilakukan dua kali dalam tempo 15 hari.
16. Apabila yang dilelang barang tidak bergerak, maka tempo pengumuman selama H-14 hari.
17. Eksekusi Riil. Eksekusi ini adalah eksekusi yang menggunakan aparat untuk mengosongkan rumah dkk. Pasal 200 ayat (11) HIR menyebutkan:

Jika perlu dengan pertolongan polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya, serta oleh sanak saudaranya.

Eksekusi riil di bawah pengawasan Ketua PN dengan eksekutor juru sita pengadilan.

Lalu bagaimana dengan eksekusi atas vonis Rp 18,7 triliun pembakar hutan? KLHK menyatakan sangat intensif koordinasi dengan pihak PN Pekanbaru untuk kasus PT MPL dan sudah ada pemanggilan (aanmaning) oleh pihak PN dan sedang berproses. Sedangkan proses eksekusi PT Kalista Alam (KA), Ketua PN Meulaboh telah melakukan aanmaning dua kali. Terakhir panggilan pada 21 Januari 2019.

"Namun PT KA tetap tidak hadir (meskipun telah dipanggil secara patut), sehingga tgl 22 Januari 2019 Ketua PN Meulaboh mengeluarkan penetapan lelang lahan yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Ketua PN Suka Makmue (lokasi lahan berada di Kabupaten Nagan Raya)," kata Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani.

"Komitmen untuk melakukan penegakan serius dan konsisten terus kami lakukan, termasuk terus mendorong upaya eksekusi putusan-putusan yang sudah inkrach," pungkas Rasio. - PT Kontak Perkasa

Sumber : detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar